cerpen :
mungkin tak bisa dilepas
karya : Verocha Jayustin Sastra
Namaku Hani, nama panjangku "Hanifah Geofany" Hidup gelap di mataku, setelah ibuku meninggalkan anaknya sendiri di dunia ini. Hujan terus menurunkan airnya, membasahi tubuhku yang sedang terdiam di depan rumah. Rumahku hanya sekumpulan kayu lapuk. Tak ada yang mengurus rumah ini setelah ibuku meninggal. Aku hanyalah seorang gadis lemah bersama kursi rodanya.
Tak sepatah kata pun yang aku ucapkan di tengah hujan deras ini. Kursi rodaku pun tak berkata apa apa.
Hanya hujan yang berbicara, hanya udara yang berjalan. Seandainya ibu melihat anaknya yang malang ini sudah tak berdaya menjalani hidup.
Aku tak bisa berjalan, karena kecelakaan yang terjadi kepadaku dan ibuku. Ini pula yang menyebabkan ibu meninggal. Ibu adalah perempuan yang paling aku kagumi, ia wanita yang kuat. Merawat buah hatinya yang malang ini sendiri. Ayahku adalah pria yang tak bertanggung jawab.
Ibu dan aku adalah keluarga miskin. Kami tinggal di rumah kayu yang saat ini aku tempati sendiri. Ibu adalah wanita yang tegar, periang, dan humoris. Dulu ibu sering menceritakan tentang ayah padaku. Ia bercerita bahwa ayah, adalah pria perkasa berani, padahal aku tau bahwa ayah pria yang tak bertanggung jawab. Ibu belum mengetahui bahwa aku sudah mengenal ayah sebagai pria tak bertanggung jawab. Mungkin ibu bercerita begitu agar aku tak menjadi anak durhaka.
Kecelakaan membuat kami terpisah jauh. Saat itu, aku dan ibu pulang dari pasar. Aku membawa semua belanjaan ibu. Sebelum kejadian itu, kakiku masih normal. Ibu berjalan di belakangku. Tiba-tiba, sebuah mobil berlaju kencang hentak menabrakku, namun ibu menyelamatkanku dari kecelakaan itu. Lalu, ibu meninggal. Perasaan bersalah terus hadir padaku hingga kini, MENGAPA TAK AKU TUHAN? Mengapa harus wanita lembut itu?
Hujan masih menggeluti tubuh ku. Aku putuskan untuk masuk ke rumah. Saat aku mau menutup pintu, lurus di sana, aku melihat seorang pria sebaya dengan om ku sedang berlari hujan hujanan. Lalu menghampiriku yang sedang memegang pintu.
" Hanifah??"
" Ya, anda siapa?"
" Ini Ayah, Hani!"
" Ayah? Kenapa Ayah ke sini?! Ibu sudah meninggal!! Ayah tak tau itu!! Apa yang Ayah tau tentang kami?!
" Meninggal? Kamu jangan bercanda Hani!"
" Ayah, sudahlah!! Ayah tak berhak di sini!!
Air mata ayah mulai bergelinang, walaupun aku membenci ayah, namun aku masih bisa merasakan perasaan ayah.
" Ayah mengaku, bahwa Ayah bersalah. Namun, Ayah selalu mencari kalian kemana mana. Baiklah Hani, Ayah memang pria buruk, tak pantas Ayah di sini. Ayah merasa senang melihat kamu sudah besar."
Ayah kembali ke hujan deras itu. Aku merasakan pengorbanan ayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar